BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Indonesia
adalah negara kepulauan dengan jumlah penduduk terpadat setelah Cina, India,
Uni Sofyet, dan Amerika Serikat. Dari seluruh jumlah penduduk Indoensia, 60%
nya tinggal di pulau Jawa dan Madura yang luasnya hanya 7% dari luas daerah
Indonesia. Oleh karena itu, ada upaya pemerintah untuk mengatasi masalah ini.
Upaya yang dilakukan adalah transmigrasi (Ismawan dalam Swasono;1986).
Transmigrasi
penduduk tersebut sudah dikenal sejak tahun 1905, pada masa pendudukan Belanda.
Desa Gedong Tataan di Lampung merupakan basis pertama kolonisasi petani Jawa di
daerah luar pulau Jawa (Sayogyo dalam Swasono;1986). Transimgarasi mempunyai
arti sebagai perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya di dalam
wilayah Republik Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menetap yang
berguna dalam kepentingan pembangunan nasional yang didasarkan pada
ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang (Munir dalam
Swasono;1986).
Ada
dua macam transmigrasi, yaitu transmigrasi umum dan transmigrasi swakarsa.
Transmigrasi umum adalah transmigrasi yang sepenuh biayanya ditanggung oleh
pemerintah (Swasono;1986). Sedangkan transmigrasi swakarsa secara harfiah
adalah transmigrasi yang dilaksanakan atas dorongan sendiri, dengan kemauan dan
biaya ditanggung sendiri, berpindah dari daerah asal dan menetap di daerah
transmigrasi (Warsito et.al;1995). Transmigrasi merupakan tumpuan harapan bagi
berbagai pihak, tidak lagi menjadi tumpuan bagi petani kecil saja (Swasono, 1986).
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Adapun
rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah transmigrasi yang terjadi di Indonesia?
2.
Bagaimanakah pola transmigrasi yang berjalan di
Indoensia?
3.
Bagaimanakah pengaruh transmigrasi penduduk terhadap
daerah transimigrasi di Indonesia?
1.3 TUJUAN
PENULISAN
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
Mengetahui bagaimana transmigrasi swakarsa yang
terjadi di Indonesia.
2.
Mengetahui pola transmigrasi swakarsa yang terjadi di
Indoensia.
3.
Mengetahui pengaruh transmigrasi penduduk terhadap
daerah transmigrasi di Indonesia.
BAB II
TRANSMIGRASI
Transmigrasi
merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mencapai keseimbangan penyebaran
penduduk, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan produksi dan meningkatkan
pendapatan. Titik pusat penyelenggaraan transmigarasi adalah manusia. Program
pelaksanaan transmigrasi memungkinkan untuk melaksanakan pemerataan pendidikan,
kesehatan dan jaminan sosial kepada golongan penduduk yang selama ini tidak
terjamah oleh fasilitas-fasilitas sosial tersebut. Transmigrasi juga berfungsi
untuk mempercepat perubahan pengelompokan dan penggolongan manusia dan
membentuk jalinan hubungan sosial dan interaksi sosial yang baru (Martono dalam
Swasono;1986).
Sedangkan
menurut Heeren (1979), “transmigrasi ialah perpindahan, dalam hal ini
memindahkan orang dari daerah yang padat ke daerah yang jarang penduduknya
dalam batas Negara dalam rangka kebijaksanaan nasional untuk tercapainya
penyebaran penduduk yang lebih seimbang”.
Transimgrasi
membantu pemerintah dalam pengembangan daerah. Daerah yang dibangun dalam
transmigrasi adalah daerah asal dan daerah tujuan. Di daerah asal dapat
dilaksanakan program pembangunan yaitu pelaksanaan landreform[1]secara
konsekuen, pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, pelestarian alam dan
lingkungan hidup, perubahan pola usaha tani, pencegahan korban-korban bencana
alam, pengurangan kepadatan penduduk, dan pengurangan urbanisasi. Sedangkan di
daerah tujuan dapat dilaksanakan program penambahan tenaga pembangunan,
perubahan dana-dana dan sarana pembangunan, transfer teknologi,
pelaksanaan landreform secara konsekuen, pembudidayaan potensi
alam, dan pembaharuan pola hidup (Martono dalam Swasono;1986).
Transmigrasi
umum ditanggung oleh pemerintah, dimulai dari pendaftaran, dan seleksi hingga
tempat tinggal transmigran. Pada tahun 1956, pemerintah memberikan pinjaman
kepada transmigran. Pada delapan bulan awal, mereka mendapatkan pangan
dan sandang dari pemerintah, namun mereka membayar pinjaman tersebut selama 3
tahun.
Salah
satu pola transmigrasi yang berjalan di Indonesia adalah transmigrasi swakarsa.
Ciri-ciri dari transmigrasi swakarsa adalah sebagai berikut (Sujarwadi dalam
Warsito et.al;1995):
1.
Pemilihan tanah harus sesuai dengan ketentuan
pemerintah
2.
Perpindahan transmigran swakrsa/spontan harus sesuai
dengan kebijakan kependudukan dan pembangunan.
3.
Tersedianya sumber penghidupan yang tetap dan lebih
baik serta menjamin masa depan generasi berikutnya di daerah tujuan.
4.
Keputusan untuk bertransmigrasi diambil atas dasar
kemauan sendiri dan keyakinan akan hidup yang lebih baik di daerah
transmigrasi.
5.
Transmigran yang bersangkutan menyadari keberhasilan
hidupnya di daerah transmigrasi menjadi tanggung jawabnya sendiri.
6.
Penyediaan sarana dan prasarana diatur oleh
pemerintah.
Pada
transmigrasi swakarsa diharapkan penduduk yang bertransmigrasi bisa merasakan
kesejahteraan. Kesejahteraan tidak hanya dalam aspek ekonomi saja, akan tetapi
juga dalam aspek sosial budaya. Terciptanya suasana yang aman dan tenteram,
semakin mantapnya kewaspadaan masyarakat dalam menanggulangi setiap ancaman
merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan (Mutalib dalam Swasono;1986).
Keberhasilan
transmigran swakarsa disebabkan oleh akal daya dan kewiraswataan mereka yang
memungkinkan mereka melihat dan memanfaatkan kesempatan-kesempatan guna
memperbaiki hidup mereka (Hardjono;1982b dalam Warsito et.al;1995).
Adanya
transmigrasi swakarsa ini didorong oleh faktor menyempitnya lapangan pekerjaan
di bidang pertanian di Jawa. Sedangkan di daerah tujuan, lahannya luas ,subur,
mudah diolah dan relatif murah. Selain itu, faktor pendukung adanya
transmigrasi adalah karena usaha yang dilakukan diluar sektor pertanian tidak
dapat memperbaiki kehidupannya karena tidak sesuai dengan keterampilan yang
dimiliki. Hal tersebut mendorong mereka untuk berpindah ke daerah luar Jawa.
BAB II
POLA TRANSMIGRASI
Menurut
Sujarwadi dalam Warsito et.al (1995) variabel yang digunakan untuk menentukan
pola-pola transmigrasi swakarsa adalah menurut bidang usahanya, menurut
pembiayaannya, dan menurut tipe dan lokasi.
1.
Menurut bidang usaha
1.
Pola usaha tani tanaman pangan, yang terdiri atas
pertanian keluarga dan pertanian perusahaan.
2.
Pola usaha perkebunan, terdiri atas perkebunan rakyat
perorangan dan koperasi serta perkebunan inti.
3.
Pola usaha peternakan rakyat perorangan dan koperasi,
ranch/inti.
4.
Pola usaa perikanan terdiri atas penangkapan ikan di
laut dan budidaya ikan di air tawar.
5.
Pola usaha industri/kerajinan rakyat dan industri
kecil/ringan.
6.
Munurut pembiayaannya
1.
Dibiayai dengan APBN, terbatas untuk kegiatan instansi
pemerintah yang bersifat bantuan.
2.
Non APBN:
1.
Dibiayai transmigran yang bersangkutan atau orang/badan
yang mensponsori.
2.
Dalam hal transmigrasi swakarsa yang berkaitan dengan
program investasi, biaya diperoleh dari lembaga/perusahaan yang bersangkutan,
perbankan atau dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.
3.
APBD, dibiayai dari anggaran pemerintah daerah asal
atau daerah transmigrasi.
4.
Menurut tipe dan lokasi
1.
Transmigrasi susulan keluarga/kenalan yang telah
bermukim sebelumnya.
2.
Transmigrasi swakarsa penunjang pembangunan daerah.
3.
Transmigrasi penunjang investasi perusahaan.
Pada
transmigrasi swakarsa pemerintah tidak menanggung biaya perpindahan
transmigran, tetapi harus menyediakan prasarana dan sarana proyek pemukiman
termasuk tanah.
BAB IV
PENGARUH
TRANSMIGRASI TERHADAP DAERAH TRANSMIGRASI
Transmigrasi
diharapkan tercapainya keseimbangan penyebaran penduduk sesuai dengan daya
tampung sosial, agraris dan ekologis. Daya tampung sosial adalah jumlah yang
dapat ditampung di suatu daerah tanpa menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial
yang berarti (Heeren, 1979). Pada proyek-proyek transmigrasi tertentu beberapa
konflik antara transmigran dan penduduk asli telah terjadi, bahkan diantaranya
telah terjadi pertumpahan darah (Kompas, 1976 dalam Heeren, 1979).
Dengan
pola apapun dilaksanakannya transmigrasi, benturan atau konflik akan tetap
terjadi. Diantaranya adalah adanya benturan budaya antara yang asli dan
pendatang. Permasalahan ini adalah permasalahan berat yang tidak mungkin
dihindari (Wirosardjono dalam Swasono;1986). Penduduk asli memiliki berbagai
sikap terhadap transmigran, ada sikap yang senang menerima pendatang dan ada
yang tidak menyukai kedatangan transmigran. Contohnya adalah masalah
transmigrasi di Lampung yaitu antara transmigran Jawa dengan penduduk asli.
Penduduk Lampung menghina penduduk jawa yang miskin, sedangkan masyarakat Jawa
jarang atau hampir tidak pernah melakukan kontak dengan masyarakat lampung
(Heeren, 1979).
Adanya
sengketa tanah yang terjadi antara penduduk asli dan pendatang dan antar sesama
transmigran merupakan salah satu masalah lain yang timbul akibat transmigrasi
(Kustadi dalam Warsito et.al;1995). Contohnya di Luwu, penduduk asli merasa
dirugikan karena kehilangan hak atas bidang-bidang tanah tertentu. Ada juga
kasus lainnya, penduduk asli mendapatkan tanah pengganti yang jauh dari desa
(Heeren, 1979). Akibat transmigrasi penduduk, daerah transmigrasi semakin padat
karena membanjirnya transmigran. Selain itu, letak daerah transmigran yang
terpencil sehingga sulit untuk dicapai, dan hasrat penduduk yang ingin
bertransmigrasi menjadi masalah di daerah asal sehingga penduduk tersebut
cenderung menggunakan calo.
Penduduk
asli merasakan perasaan iri, karena fasilitas yang diberikan oleh pemerintah
kepada transmigran, tetapi tidak pernah diberikan oleh pemerintah kepada
penduduk asli. Penduduk merasa tidak enak dengan adanya transmigran. Dengan
adanya transmigran, mereka akan menjadi minoritas didaerah mereka sendiri
(Heeren, 1979).
Di
daerah luar Jawa, umumnya para petani masih menggunakan sistem ladang berpindah
yang membutuhkan lahan yang luas. Seharusnya mereka merubah cara berpikir
mereka dalam sistem bertani. Namun, adat istiadat yang masih dipegang teguh
menghambat kemerdekaan berpikir mereka. Oleh sebab itu, mereka tidak bisa
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan mereka mulai menjual harta-harta
pusaka mereka yang berupa tanah kepada orang-orang di kota dan transmigran.
Akibatnya, mereka tidak lagi punya usaha dan pergi dari kampungnya. Mereka
mencari pekerjaan lain, diantaranya bekerja diperusahaan-perusahaan pertanian.
Namun, mereka kalah saing karena pendatang baru sudah terbiasa dalam
menggunakan alat-alat modern. Banyak diantara mereka yang menjadi pengangguran
yang mengakibatkan peningkatan kriminalitas.[2]
Bertambahnya
penduduk daerah tujuan transmigrasi mengakibatkan kurangnya rasa gotong royong
dan kekompakan penduduknya. Bila diadakan pemilihan kepala desa akan merugikan
penduduk asli karena mereka masih menggunakan sistem kesukuan. Mereka
mengajukan calon di tiap-tiap suku, sedangkan penduduk asal Jawa mengajukan
satu calon.3[3]
BAB IV
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
.
Pola-pola transmigrasi dilihat dari tiga variable yaitu menurut bidang usaha,
pembiayaan dan tipe dan lokasi.
Masalah-masalah
yang dihadapi dalam pelaksanaan transmigrasi adalah adanya benturan budaya yang
terjadi antara daerah asli dengan pendatang, adanya persengketaan tanah antara
penduduk asli dan pendatang, pertambahan jumlah penduduk yang pada awalnya
hanya sedikit, menjadi lebih padat.
3.2 SARAN
Dengan
adanya penulisan makalah ini, diberikan saran yaitu memberikan perhatian
terhadap daerah-daerah transmigrasi sehingga tercapainya tujuan pemerintah
yaitu adanya keseimbangan jumlah penduduk, perluasan kesempatan pekerjaan dan
pendidikan. Selain itu, saran penulis agar makalah ini bisa dilanjutkan sebagai
bahan penelitian.
0 komentar:
Post a Comment